PENGANTAR
Awal istilah TANAH yang ada pada UUPA
(Undang – Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang biasanya disebut Undang-Undang Pokok agraria atau UUPA) sama dengan
PERMUKAAN BUMI atau sama artinya dengan tanah yang dimaksud dalam lagu
kebangsaan Indonesia Raya yaitu “tanah airku” bukan “lahan airku”. Dan sekarang
telah berkembang berbagai istilah yang mencoba membedakan tanah dan lahan,
katanya hanya karena karena ingin mengindonesiakan istilah asing antara
“Land(=lahan)” dan “Soil (=tanah)” atau ada udang dibalik rebutan kewenangan
sebagaimana tanah adalah subsistem dari ruang berdasarkan apa yang
didefinisikan menurut Undang-Undang Penataan Ruang.
Pengembangan Istilah tersebut adalah hasil
rekayasa / pengembangan hukum yang sarat dengan duplikasi yang dampaknya
dirasakan hingga saat ini yaitu penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber
agraria belum mampu mengatasi kemiskinan yang melanda Indonesia. Pengelolaan
sumber daya agraria tidak sinergis dan kompherensif (demikian pendapat pemenang
hadiah nobel ekonomi tahun 2006) sehingga pengentasan kemiskinan belum berhasil
walau sudah diupayakan sejak tahun 1976.
Oleh karena makna kata “TANAH” telah amat
menyimpang dari sumber aslinya yaitu UUPA, maka pengetahuan elementer keagrariaan
ini berfokus pada apa arti “TANAH MENURUT UUPA”.
Tulisan ini saduran bebas dari UUD 1945
dan UUPA terutama disarikan dari bagian : menimbang, berpendapat,
memperhatikan, memutuskan, pasal 1 s/d pasal 19, penjelasan umum dan penjelasan
pasal demi pasal serta pidato-pidato pengantarnya dan jawaban Ketua DPR Gotong
Royong saat UUPA diundangkan.
Semoga melalui pengetahuan elementer/dasar
keagrariaan ini dapat menyadarkan pihak – pihak yang kreatif yang bernaung
dibalik rebutan kewenangan kembali azas dasar (BACK TO BASIC) yang dianut UUPA
dan semua pihak yang mempelajari masalah keagrariaan memahami betul makna
“TANAH” sesuai dengan peraturan dasarnya yaitu UUPA.
“Pemerhati Masalah Pertanahan”
TANAH ADALAH :
PERMUKAAN BUMI DAN RUANG
TANAH sama dengan PERMUKAAN BUMI adalah karunia TUHAN YANG MAHA ESA (Pasal 1 ayat 2 Jo Pasal 4 ayat 1),
diartikan sama dengan RUANG pada saat menggunakannya karena
termasuk juga tubuh bumi dan air di bawahnya dan ruang angkasa di atasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah dalam batas – batas menurut undang – undang ini dan peraturan
– peraturan lain yang lebih tinggi.
SESUATU YANG MAGIS
Berpijak pada sifat materi sebagai unsur pembentuk alam semesta, TANAH MEMPUNYAI SIFAT MAGIS,
mengandung semua unsur alam semesta, merupakan komponen tubuh fisik makhluk
hidup, MINIATUR DARI ALAM
SEMESTA (MIKRO KOSMOS), ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, harus dipelihara atau
diusahakan dengan ketekunan, saling menghargai, ketulusan, kejujuran dan
keharmonisan SUPAYA TANAH,
ALAM SEMESTA DAN MANUSIA bersahabat
dengan rukun, harmonis dan saling menguntungkan dalam satu kesatuan ekosistem
bukan saling merugikan. Mereka bertiga dalam satu kesatuan ekosistem tidak
luput dari evolusi waktu dengan segala perubahan – perubahan yang bersifat
alamiah dan gejolak / revolusioner. Perubahan – perubahan dapat terjadi membuat
diantara mereka “tersiksa” karena proses perubahan revolusioner, yang membuat
“kaget” satu sama lain, sebagai proses kalibrasi pada saat ketidakharmonisan
terjadi.
Atas dasar sifat magis dari tanah, maka sifat, adat dan budaya masyarakat telah
diakomodasikan dalam peraturan perundangan pertanahan, sebagaimana tercermin
dalam Pasal 3 dan 5 UUPA :
Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan – ketentuan
dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat (di dalam perpustakaan adat
disebut “beschikkingsrecht), sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi.
Penjelasan
Hukum Agraria Belanda “Agrarische Wet”
tidak mengakui adanya hak ulayat dan sejenisnya, sehingga saat pembukaan hutan
besar – besaran, masyarakat hukum adat diabaikan . UUPA mengakui hak adat
sepanjang masih ada, dengan mendengar pendapatnya dan memberikan semacam
“recognitie”, yang memang berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat, tetapi
masyarakat tidak boleh menghalangi program nasional atau program pemerintah
untuk peningkatan kesejahteraan.
Pasal 5
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang –
undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur – unsur yang bersandar pada hukum agama.
Penjelasan
Penegasan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru / UUPA
karena sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Hukum agraria
yang lama terdapat dualisme yaitu di satu pihak hukuk tanah tunduk pada hukum
adat dan di lain pihak tunduk pada hukum barat yang berpokok pada ketentuan –
ketentuan dalam Buku II Kitab Undang – undang Hukum Perdata Indonesia.
SUMBER DAYA EKONOMI
Oleh karena bumi tidak pernah
bertambah besar, kecuali semakin tua mengikuti perubahan waktu, maka tanah atau
permukaan bumi merupakan barang terbatas, sumber daya yang bernilai ekonomis
paling strategis, langka dan semakin langka karena manusia selalu bertambah
jumlah dan nafsunya, sementara tanah tidak bertambah atau tidak diperbaharui,
bahkan bertambah tua / lumpuh / karena proses waktu sekalipun tidak digunakan.
Dari segi persediaan (supply), tanah merupakan barang langka sehingga memiliki
fluktuasi ekonomis yang tidak normal, oleh karenanya manusia rela berperang
memperebutkannya, sejalan dengan pepatah jawa “sedumuk bathuk senyari bumi den
lakoni taker pati”.
Sumber – sumber agraria adalah bumi
(permukaannya disebut TANAH),
air (air permukaan, air bawah tanah, air laut) dan, ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya (tambang) dengan kata lain diantara TANAH, AIR, RUANG ANGKASA dan TAMBANG maka TANAH yang memiliki nilai paling strategis
karena TAMBANG, AIR dan RUANG
ANGKASA semua terikat dan
melekat pada TANAH.
Karena bumi tidak luput oleh pengaruh
waktu, bahwa degradasi bumi tetap terjadi walaupun dibiarkan tidak
dieksploitasi, maka apalagi dieksploitasi wajib bagi siapa saja menjaga
kesuburannya serta mencegah kerusakannya agar tanah dapat dimanfaatkan untuk
generasi yang akan datang. (Pasal 15)
Demikian langkanya tanah tersebut karena
tidak akan pernah bertambah luas permukaan bumi itu, maka penguasaan tanah
pertanian milik pribadi mutlak dibatasi luasannya, sedangkan untuk tanah non
pertanian dibatasi jumlah bidangnya agar pihak lain memperoleh kesempatan yang
sama dalam mengakses tanah.
PEREKAT NKRI
Seorang rela mati bila tanahnya diklaim atau diduduki orang lain. Suatu bangsa
perang berkepanjangan karena perebutan teritorial. Semakin dewasa paham
demokrasi, semakin “cerdik” strategi memperluas teritorial. Ingat kasus pulau
Nipah pulau terluar NKRI yang berbatas dengan Singapura, membuat batas
Singapura meluas ke arah NKRI karena penambangan golongan C pasir laut membuat
pulau tersebut tenggelam hanya demi kepentingan lokal atau sesaat. Begitu
mengerikan dampak terhadap keutuhan NKRI bila urusan pertanahan diserahkan
menjadi urusan rumah tangga Daerah.
Secara tegas UUPA menyatakan sifat Nasional urusan pertanahan sebagaimana Pasal
1 dan Pasal 2 UUPA, dan kalaupun terjadi pembagian kewenangan pemerintahan demi
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraannya, wewenang mengatur yang bersumber
dari hak menguasai dari Negara berdasarkan Pasal 2 UUPA maksimum dapat
dikuasakan atau medebewind (bukan diserahkan / bukan diotonomikan) kepada
Daerah dan masyarakat – masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan
Pemerintah.
PEMBANGUN KONDISI KEBERSAMAAN / HARMONIS
Manusia sejak lahir sudah hidup secara berkelompok mulai dari keluarga, rukun
tetangga, dusun, kampung, desa, kelurahan, kabupaten, provinsi, bangsa dan
negara. Dengan kata lain manusia, secara alamiah disebut makhluk ganda,
memiliki sifat individu dan sekaligus memiliki rasa solidaritas ciri utama dari
makhluk sosial. Kedudukan tanah juga diwarnai oleh sifat manusia, yaitu sebagai
benda ekonomi yang harus dibatasi dengan patok batas permanen dan sama- sama
diakui oleh tetangga yang bersebelahan, juga sebagai aset sosial (hak atas
tanah berfungsi sosial sebagaimana Pasal 6 UUPA) yang mana pemiliknya tidak
patut bersikukuh terhadap tanahnya bila penduduk sekitarnya membutuhkannya
(kepentingan orang banyak memerlukannya), bahkan untuk kepentingan umum hak
atas tanah bisa dicabut (Pasal 18 UUPA).
Fungsi sosial hak atas tanah pembangun azas kebersamaan yang ingin diwujudkan
oleh UUPA misalnya seorang yang hanya mampu mengolah tanahnya dengan produksi
lebih rendah karena sambilan, sebaiknya merelakan tanahnya dikerjakan orang
lain yang lebih mampun memberi hasil lebih tinggi (Pasal 6 Jo Pasal 10 UUPA).
Karena hasil yang lebih tinggi berguna bagi kesejahteraab orang lebih banyak.
Terhadap tanah pertanian, yang dilarang apabila yang memiliki bukan petani
(Pasal 10), kecuali PNS untuk persiapan masa pendiun dengan luasan terbatas.
Larangan diberlakukan juga bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar
kecamatan letak tanah yang disebut pemilikan secara absente (kecuali kecamatan
berbatasan). Jadi tanah pertanian hanya boleh dimiliki oleh petani dan / atau
tidak absente.
Pengaturan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah
sebagaimana yang disebut dengan rencana tata guna tanah juga berfungsi sebagai
pembangun azas kebersamaan karena sifatnya berjenjang yaitu rencana tata guna
tanah skala nasional memayungi rencana tata guna tanah skala provinsi
selanjutnya menjadi payung atau pedoman bagi rencana tata guna tanah tingkat
Kabupaten / Kota. Mekanisme pengendaliannya melalui pengesahan peraturan
daerah oleh pemerintah yang lebih tinggi sebelum dinyatakan sah sebagai acuan
pembangunan (Pasal 14 UUPA).
Kebersamaan juga dibangun melalui peniadaan ketimpangan dalam pemilikan tanah
pertanian sehingga memiliki tanah melampaui luas maksimum yang diperkenankan
dalam suatu kabupaten (yang biasanya ditetapkan berdasarkan kepadatan penduduk)
dilarang (Pasal 7 UUPA).
Kebersamaan juga dibangun melalui larangan
adanya praktik monopoli swasta dalam lapangan agraria (Pasal 13) kecuali
diselenggarakan dengan Undang – undang. Kerjasama yang mengandung unsur
pemerasan atau penindasan dilarang antara pemilik dan penggarap atau pihak yang
ekonomis kuat atas yang ekomonis lemah. Usaha bersama di lapangan agraria lebih
disarankan dengan bentuk kooperasi (Pasal 10,11 dan 12 UUPA).
PEMBANGUN SISTEM KEMASYARAKATAN NON
DISKRIMINASI
Dalam hal pewarisan adat dan agama terdapat perbedaan antara wanita dan
pria dalam memperoleh porsi warisan. UUPA tidak membedakan antara wanita
dan pria dan juga tidak membedakan suku bangsa dan agama. Hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan penuh dengan tanah
dan wanita maupun pria memiliki kesempatan yang sama (Pasal 9 UUPA).
PENGAMAN KEPASTIAN KEPENTINGAN PRIBADI
Pengaturan dan penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
tanah mengutamakan kepentingan kelompok bukan berarti kepentingan pribadi tidak
diakui. Hak atas tanah lahir dibawah naungan kepentingan umum adalah sejalan
dengan konsepsi evolusi alam semesta yaitu suatu konsepsi/kaidah dimana
kepentingan individu selalu mempertimbangkan keunggulan kepentingan bersama /
umum. Hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 4 yang terdiri dari : hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka
tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak
tersebut dahulu yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagaimana Pasal 16 UUPA adalah wewenang yang diberikan
kepada pemegang hak untuk menggunakan tanah dalam arti ruang yaitu permukaan
bumi di atas dan di bawahnya, sebatas yang diperlukan bagi operasional
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dikuasainya sesuai dengan batasan –
batasan yang ada menurut rencana tata guna tanah (Pasal 2 Jo Pasal 14 UUPA).
ASET TIDAK BERGERAK BERSIFAT UNIK YANG
SISTEM ADMINISTRASINYA BUKAN LAYANAN PUBLIK BIASA.
Supaya hal tersebut memiliki kepastian
hukum baik kepastian kewenangan / hak maupun kewajiban potensial yang
menyertainya demi kepentingan kelompok yang lebih luas / umum (Pasal 14 dan 18 UUPA
Jo PP 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah) maka hubungan hukum dan
perbuatan hukum atas tanah harus didaftarkan secara tertulis baik posisinya,
subyek yang menguasai atau yang berhak, maupun jenis penggunaan tanah yang
diijinkan termasuk kewajiban / batasan-batasan yang dikenakannya serta
perbuatan hukum yang dialami oleh tanah tersebut (Pasal 19 UUPA Jo PP 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Salinan dokumen pendaftarannya tersebut
dipegang oleh yang bersangkutan yang disebut sertipikat tanah yang
merefleksikan hal yang sama dengan arsip hidup yang ada di Kantor Pertanahan
(buku/Warkah Tanah). Arsip hidup sama dengan arsip yang tidak akan/pernah
dimusnahkan seperti arsip lainnya artinya selalu dipelihara baik perubahan
subyeknya, perubahan jenis haknya maupun perubahan pengenaan kewajiban
penatagunaan tanahnya.
Oleh karena sertipikat sebagai dokumen
tertulis tentang tanah dengan muatan multi makna, meliputi :
- Permukaan bumi dan ruang
- Sesuatu yang magis
- Sumber daya ekonomi
- Perekat NKRI
- Penstimulasi kondisi kebersamaan / harmonis
- Pembangun sistem kemasyarakatan non diskriminasi
- Pengaman kepastian kepentingan pribadi
- Aset tidak bergerak bersifat unik yang sistem
administrasinya bukan tata usaha layanan publik biasa.
Tanah adalah benda tidak bergerak menopang
multi aspek, karena jumlahnya terbatas, memiliki nilai ekonomis semakin tinggi
bila kepadatan penduduknya semakin tinggi pula. Sebidang tanah tidak bisa
mensubstitusi / menggantikan bidang tanah yang lain karena baik letak, sifat
maupun daya dukunya bersifat unik.
Karena bersifat unik serta memikul makna
multi aspek, maka sistem pengadministrasiannya bukan seperti administrasi aset
pada umumnya. Pelayanan penerbitan sertipikat tanah merupakan satu paket
kegiatan yang mulai sejak (1) Penataan, (2) Pemberian / penerbitan Surat
Keputusan hak atas tanah, (3) Pendaftaran hak atas tanah, hingga (4)
Pengendalian bidang tanah.
Maka pelayanan sertipikat tidak tepat
diklasifikasikan sebagai produksi layanan umum masyarakat semata, bahkan
sertipikat lebih berperan sebagai alat pengendali bagi Pemerintah dan Masyaraat
agar hubungan hukum dan perbuatan hukum antara subyek (pemilik atau yang
menguasai) dan obyek (sebidang tanah) selalu dalam koridor perwujudan
masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Azas keadilan dan pemerataan
diperhitungkan bagi seluth rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dalam
wadah NKRI. Maka sudah sewajarnya Pulau Jawa sebagai penyangga pangan nasional
tidak dengan mudahnya melakukan konversi sawah lestari, masyarakat yang
berdomisili dan hidup di daerah hulu yang berfungsi sebagai penyangga air
permukaan maupun air bawah tanah serta pengendali sedimentasi, sudah sewajarnya
mengekang kepentingan ego ekonomisnya menanam tanaman semusim misalnya
kentang/tembakau yang memiliki nilai ekonomi dengan mengabaikan pelestarian
lingkungan hidup atau membiarkan tetangga di bawahnya keseringan menderita
kebanjiran atau kekeringan.
Azas keadilan dan sebesar-besar kemakmuran
rakyat NKRI merupakan sifat Nsional dari manajemen pertanahan, maka database
bidang tanah harus dikelola melalui sistem jaringan online se Indonesia /
terpusat seiring dengan sistem kependudukan (misalnya nama di KTP yang bersifat
nasional sama dengan nama di sertipikat tanah, yang diunikan oleh tanggal lahir
dan nama Ibu Kandung). Demikian langkanya tanah tersebut karena tidak akan
pernah bertambah luas permukaan bumi itu, maka penguasaan tanah milik pribadi
mutlak dibatasi luasannya. Dengan terpusat maka ketentuan batas maksimum
pemilikan tanah dapat diterapkan.
Pemahaman masyarakat umum yang telah
berkembang saat ini telah menyimpang dari UUPA. Penyelenggaraab pendaftaran
tanah yang mendasarkan PP 10 Tahun 1961, saat ini telah dicabut diganti dengan
PP 24 tahun 1997, yang menurut UUPA adalah kewajiban pemerintah. Penerbitan
sertipikat telah menjadi layanan publik semata-mata, bahkan Pemerintah mencari
uang dalam menerbitkan sertipikat tanah (karena terbatasnya anggaran negara
atau karena belum menyadari pentingnya kedudukan manajemen pertanahan bagi
kemajuan bangsa), dan karena mencari uang maka banyak pihak berpersepsi dapat
diotonomikan sebagai sumber penghasilan Pemerintan Daerah.
Mekanisme penerbitan sertipikat tanah
dimulai dari : pertama,
identifikasi rekomendasi / persyaratan penataan dan pengaturan pertanahan,
dilanjutkan, kedua,
dengan proses pemberian dan penetapan jenis hak dan ketiga, dilanjutkan
dengan penduplikasian kegiatan pertama dan kedua, yang disebut “sertipikat
tanah” yang dipegang oleh yang bersangkutan, sedangkan buku tanah / warkah
adalah arsip hidup disimpan di kantor pertanahan, keempat, diakhiri dengan
pengendalian bidang tanah guna memenuhi persyaratan penataan pertanahan.
Oleh karena sertipikat berproses mulai
dari kegiatan kesatu, kedua, ketiga dan keempat merupakan satu rangkaian
kegiatan utuh dari manajemen pertanahan maka, pensertipikatan
tanah bukan layanan publik seperti yang umum dikenal seperti layanan Surat Ijin Mengemudi,
STNK, KTP dll.
Sertipikasi tanah adalah produk final dari manajemen
pertanahan yang berfungsi sebagai alat bukti pemilikan sekaligus sebagai sarana
pengendali bidang tanah menuju tanah untuk kemakmuran dan keadilan serta
menjamin kelangsungan pembangunan berkelanjutan bagi seluruh rakyat NKRI. Oleh
karenanya maka penerbitan sertipikat tanah hanya dapat dikelola dalam satu
sistem terpusat.
Catatan :
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
dari perenungan selama mengabdi 33 tahun sebagai PNS Agraria /Pertanahan,
semoga berguna untuk pencerahan semua orang yang masih berhubungan dengan tanah
di NKRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar